Ilmu pengetahuan terus berkembang. Sarana dan prasarana untuk mencapainya pun ikut maju. Dunia pendidikan tak boleh stagnan menghadapi kemajuan zaman. Jika tidak, apa yangdikatakan Mendikbud Anies Baswedan menemukan kebenaran. ‘Gurunya adalah guru abad 20, ruang kelasnya adalah ruang kelas abad 19, siswanya hidup di era abad21’.
Lantas apa yang harusdiperbuat untuk mengikuti perkembangan zaman? Berbagai macam cara ditawarkan oleh praktisi dunia pendidikan Jatim yang dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Pendidikan Indonesia Berkemajuan yang diterbitkan Dewan Pendidikan Jatim. Benang merah kumpulan tulisan ini mengarah pada terwujudnya pendidikan yang relevan di abad 21. Ada 17 tulisan di dalamnya.
Salah satunya mengagendakan deschooling untuk pendidikan universal yang ditulis Prof Daniel M. Rosyid, Penasehat Dewan Pendidikan Jatim. Gagasan ini berupaya menghilangkan monopoli pendidikan formal oleh sekolah dengan memperkuat lembaga-lembaga sekolah non-formal dan informal di masyarakat, terutama keluarga, untuk mengemban tugas-tugas pendidikan.
Menurut Ketua Dewan Pendidikan Jatim Prof Zainuddin Maliki, gagasan deschooling terpengaruh teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia, Paulo Freire. Gagasan Fraire, pendidikan sebagai sarana pembebasan. Hal itu karena sekolah diambilalih negara untuk menghegemoni rakyatnya. “Di Indonesia, ada beberapa hal yang memang diambil negara,” kata dia usai peluncuran buku di Universitas PGRI Adi Buana (Unipa) Surabaya, Rabu (3/2).
Sekolah di lembaga formal kerapkali membuat siswa kehilangan kontak dengan pengalaman. Para siswa disibukkan dengan belajar teori di kelas sehingga yang dipelajari hanya bersifat abstrak. ”Seharusnya belajar tentang hidup dan kehidupan nyata,” jelasnya. Persoalan itu, jelas dia, harus diluruskan kembali. Sekolah formal harus menyajikan pembelajaran yang otentik. Dengan kata lain, belajar berdasarkan persoalan atau problem based learning. ”Semakin otentik semakin bagus,” jelasnya. Itu, imbuh Zainuddin, juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi sarjana pengangguran. ”Karena, sebanyak 78 persen pengangguran disumbang lulusan perguruan tinggi,” tuturnya.
Lain lagi yangdisampaikan Guru Besar Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya Prof SamAbede Pareno yang turut andil memberi tulisan untuk buku tersebut. Melalui tulisannya ‘Prospek Pendidikan di Indonesia dalam Perspektif Nusantara’, dia menawarkan isi, metode, dan teknik dalam proses pembelajaran di masa Nusantara. Istilah Nusantara sendiri begitu kuat saat masa kejayaan Kerajaan Majapahit. “Inti ajarannya adalah keadilan (demokratis), antikekerasan, kebebasan berpikir, mengutamakan kewajiban bukan hak, kesucian lebih baik daripada kekuasaan. Dan yang paling inti adalah melaksanakan perintah agama dan local wisdom (kearifanlokal),” sebutnya.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Harun juga terlihat hadir. Dia memberikan pesan penting. “Selama dunia ini ada, pendidikan tidak boleh berhenti berproses,” katanya. Semua tulisan dalam buku itu, lanjut Harun, cukup bagus. “Namun, perlu diperhatikan lagi dalam tataran implementasi,” jelasnya. Harun mengatakan, tantangan yang berada di depan mata saat ini adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Masyarakat pendidikan harus mampu menjawab tantangan ini. “Semua teori dan wacana yang bagus-bagus haruslah membumi ke masyarakat, karena biasanya tidak sampai,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pendidikan Menengah (Dikmen) Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya Sudarminto menyinggung persoalan literasi. Siswa di Kota Pahlawan, kata dia, sudah mulai dibudayakan untuk membaca buku. 15 menit sebelum pelajaran dimulai, siswa ini diwajibkan membaca. “Ini mendukung program Surabaya kota literasi,” kata dia.
Kemudian, lanjut Sudarminto, muncul persepsi salah dari berbagai kalangan terkait menumpuknya ijazah, terutama siswa SMK, di sekolah. Menurut dia, ijazah yang tidak diambil itu karena mereka sudah bekerja di luar negeri karena kompetensinya cukup mumpuni. Beberapa negara yang menampung siswa tanpa ijazah ini di antaranya Malaysia, Vietnam, dan sebagainya.
“Tapi di sini, ijazah masih didewa-dewakan. Banyak lembaga negara yang mementingkan ijazah daripada kompetensinya saat membuka lowongan pekerjaan,” tandasnya. (Humas Dispendik Surabaya)