Ludruk adalah Kesenian Jawa Timur yang biasanya membawakan cerita rakyat dan kehidupan sehari-hari. Cerita yang cukup terkenal di Surabaya antara lain Syarif Tambak Oso, Joko Jumput, Jaka Bereg/Sawunggaling, Jaka Sambang dan lain-lain.
Sebelum inti cerita luduruk biasanya didahului dengan tari remo, kidungan dan lawakan yang yang berisi pendidikan karakter. Di Surabaya telah ada Gedung Pertunjukan untuk Ludruk yaitu di THR, Balai Pemuda, dan Cak Durasim. Gedung pertunjukkan di tempat lain hampir sudah tiada.
Guru Surabaya tergabung dalam LUGU (Ludruk Guru) yang beranggotakan para Guru dan Kepala Sekolah, sejak tahun 2015 telah membentuk komunitas untuk dapat melestarikan Kesenian Tradisional. Mereka sering pentas di Gedung Ludruk THR Surabaya.
Pengalaman LUGU yakni pernah pentas di BG Junction, Kwarcab, dan terakhir di Gedung In door Gelora Bung Tomo (19 April 2018) dalam acara Jambore Cabang Gerakan Pramuka Kota Surabaya. Setiap kali pentas Bapak/Ibu Guru dan KS membiayai sendiri penampilannya. Ada juga Dosen yang ikut dalam Pementasan LUGU. Adi Ngadiman, Eny Cholifah, Suryati, Darsono, Yustin, Widyawati, Tatik, Indah, Eko, Yuni, Karyo, Murgito dan teman guru/KS yang lain selalu menjadi motor penggerak kegiatan tersebut.
Setiap tahun di bulan Puasa, Lugu selalu menyisisihkan sebagian rezeki untuk berbagi sesama manusia. Tahun ini membagi Takjil di depan Balai Pemuda (24 Mei 2018). Takjil yang dibagikan tiap tahun bertambah.
Tidak kurang dari 1400 menu takjil yang terdiri dari kue dan air minum yang dikemas dalam bungkusan plastic, habis dalam waktu kurang dari lima belas menit.
“Tahun ini takjil dihimpun dari 25 orang teman guru dan KS. Tahun depan kami akan membagikan lebih banyak lagi.” tutur Eny Cholifah menuturkan.
Keinginan LUGU yang belum terlaksana yaitu ingin tampil di Dispendik Surabaya. Semoga pada tahun ini LUGU dapat tampil paling sedikit dua kali di dua tempat.
“Kadang waktu untuk refreshing dan pekerjaan harus seimbang. Salah satunya lewat Kesenian Ludruk. Dengan tampil di pementasan ini terasa lebih fress”, cerita Suryati. (Humas Dispendik Surabaya)