“Menulis itu sebenarnya tidak sulit, bahkan dapat dikatakan mudah. Mengapa demikian? Karena setiap hari sebenarnya kita sedang menulis. Coba perhatikan setiap hari kita berbicara, merenungkan sesuatu dalam hati dan pikiran, membuat berbagai perencanaan, pilihan dan keputusan dalam hidup kita. Itu artinya, kita sedang menulis sesuatu dalam perkataan, pikiran maupun proses perenungan.”, ungkap Drs. Yani Paryono, M.Pd., Peneliti BBJT, pada hari ketiga lokakarya Peningkatan Kemahiran Berbahasa Indonesia bagi Pendidik Negeri/Swasta se-Kota Surabaya di Bromo Conference Room Hotel Sahid, Sabtu (30/12/2017).
Kegiatan lokakarya kerja sama antara Badan Bahasa Jawa Timur (BBJT) dan Dinas Pendidikan Kota Surabaya ini diikuti seratus orang guru SMP Negeri/Swasta yang terdiri atas guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jawa bertujuan memberikan wawasan tambahan sebagai penyegaran pengetahuan dan simulasi bagi para guru atas perkembangan kebahasaan, khususnya bahasa Indonesia, dalam rangka meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
Dalam kaitannya dengan keterampilan menulis, persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah membiasakan “memindahkan” perkataan, pemikiran, dan perenungan ke dalam bentuk tulisan. Sesuatu yang dapat dibaca kembali sebagai pengingat atau menjadi bahan pelajaran bagi orang lain.Ada dua pendekatan dalam menulis, pertama yaitu mengawali dengan membuat outline atau pokok-pokok pikiran untuk kemudian dikembangkan menjadi tulisan utuh; dan kedua yaitu langsung menuliskannya di atas kertas atau di layar komputer semua ide-ide dan data-data pendukung secara runut yang dikemas dalam tema atau topik yang telah dipilih.
Pada tahapan proses menulis. Tips umum yang sering diajarkan adalah mengoptimalkan otak kanan, karena otak kanan berisi kreativitas, seni, dan imajinasi sedangkan otak kiri mengatur, menganalis, dan mengomentari. Menulis dengan cepat dan tidak memedulikan dulu jika ada kesalahan ketik, kalimat yang tidak sempurna, argumentasi yang kurang kuat, atau pilihan kata yang tidak tepat. Untuk mengedit tulisan dapat dilakukan pada tahap berikutnya, mengoreksi dan menyunting. Membiarkan ide mengalir deras dan menuangkannya ke dalam tulisan meskipun belum beraturan akan memperlancar menulis.
Kesalahan mendasar bagi banyak orang dalam menulis adalah segera menilai kalimat atau paragraf pertama yang ditulis, menimbang-nimbang kata-kata yang pas sampai akhirnya macet, lantas berkesimpulan tidak bisa melanjutkan. Membiarkan otak kiri mengatur dan mengomentar sama halnya memasang hambatan. Fokus pada menuangkan isi pikiran terlebih dahulu, setelah selesai baru memanfaatkan otak kiri untuk menyusun dan menata sehingga menjadi tulisan yang renyah, berkualitas dan enak dibaca.
Menulis itu tidak sulit, namun juga tak begitu mudahnya. Seperti profesi lain, dapat dipelajari, dan ini tak ada hubungannya dengan bakat, namun kompetensi. Semua orang dengan latar belakang apapun pasti dapat menulis. Bahkan dapat menjadi penulis yang hebat.”, pungkas Yani.
Untuk memenuhi kepentingan peningkatan jenjang dan karier guru masih banyak terganjal oleh kewajiban publikasi karya ilmiah atau karya inovatif. Hal ini dirasakan guru semakin berat karena tidak memahami aturan Kemendikbud yang dianggap ketat. Sebelumnya, kewajiban publikasi karya ilmiah dimulai bagi guru yang hendak naik dari golongan IV/a ke golongan IV/b. Aturan baru yang diberlakukan sejak 2009 mengamanatkan bahwa guru harus membuat publikasi karya ilmiah jika hendak naik dari golongan III/b ke III/c dan seterusnya.
“Silakan para guru berlomba-lomba menulis karya ilmiah, BBJT siap menampung karya Panjenengan dalam ‘Jembatan Merah’, yaitu Jurnal Ilmiah Pengajaran Bahasa dan Sastra, tentunya harus sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.”, motivasi Yani.
Pada kesempatan yang sama, Dian Roesmiati, M.Hum., Peniliti Sastra BBJT, menyorot tentang pilihan kata. Kenyataan yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini, perkataan kotor atau tidak sopan sudah menjadi trend dalam dialog, baik dalam pergaulan sehari-hari, maupun dalam media sosial seperti tweeter, facebook, line, grup whatsapp, dan lain-lain. Sering kita jumpai, masih ada orang dengan mudah memaki dan menyumpahi orang lain dalam postingan media sosial tanpa memikirkan batas kesopanan, toleransi, dan perasaan orang lain. Pilihan jenis kata yang digunakan menghilangkan kepercayaan, rasa hormat, merusak hubungan serta moralitas seseorang.
Dengan latar belakang tersebut, kiranya perlu kecermatan memilih kata-kata yang tepat, kosa kata positif, dan ragam bahasa yang memberikan suasana dingin, sehingga apa yang diucapkan dapat membangun dan mendorong orang lain secara moral maupun spiritual menjadi semakin harmoni. Peran guru diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam memartabatkan bahasa Indonesia melalui pembelajaran. Dengan demikian, siswa dapat menerapkan penggunaan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan memperhatikan pilihan kata tepat dan kesantunan berbahasa.
“Jika siswa dapat memilih atau memilah kosa kata yang tepat dalam mengungkapkan gagasannya, hal itu sebagai satu di antara indikasi keberhasilan dalam pemartabatan bahasa Indonesia.”, imbuh Dian.(Humas Dispendik Surabaya)