“Maraknya perkembangan teknologi permainan modern saat ini, tidak mudah eksistensi permainan tradisional untuk melawan derasnya arus tersebut. Kita sebenarnya tidak antipati, tapi harus menyeimbangkan saja. Tujuan permainan modern adalah untuk menang. Dampak permainan tersebut adalah pencapaian rasa senang. Artinya, senang setelah menang. Konsep seperti itu yang dikhawatirkan dapat membentuk karakter seseorang menghalalkan segala cara untuk menang,” .
Gambaran di atas disampaikan Dr. M. Zaini Alif, S.sn., M.Ds., Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, mengawali paparannya pada seminar Penguatan Nilai Budaya dalam Pembentukan Karakter, diselenggarakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisional – Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud di Harris Hotel Surabaya, di hadapan 100 guru SMP Negeri/Swasta Kota Surabaya, Rabu (26/07/2018).
Lanjut pria dengan julukan Bapak Permainan Tradisional, bahwa konsep untuk menang tidak berlaku pada permainan tradisional karena ada sistem dan pola permainan tertentu. Hasilnya, dari kesenangan dampaknya akan menjadi menang. Sebuah contoh, tidak masalah dalam permainan petak umpet, perbedaan yang berperan sebagai kucing dan yang bukan itu sangat tipis. Jika kucing malah enak tidak berlari, tetapi masalahnya berupa harga diri saja,” katanya sambil tertawa renyah.
Tiga konsep yang akan dapat dirasakan dalam permainan tradisional, pertama dalam hal mengenal diri, misal ketika melempar atau menendang bola akan terasa bagaimana memaknai pergerakan tangan dan kaki. Kedua dalam hal pengenalan alam dan budaya, contoh bermain layangan memanfaatkan angin. Daun atau batu jadi permainan, tanah atau pasir untuk bermain gunung-gunungan. Yang ketiga konsep mengenal tentang ketuhanan. Setekah fase kagum dengan diri dan alam terpenuhi, maka dengan tak sadar akan muncul rasa syukur terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa atas berkah alam seisinya, tambah pendiri Komunitas Hong.
M. Zaini Alif, sosok yang telah berkeliling ke berbagai negara berkah dari permainan tradisional itu menyatakan miris, anak-anak makin jarang memainkan permainan tradisional dan cenderung terpaku dan hanyut pada gadget. Menengok riset yang dilakukan, 40% dari 2.600 permainan tradisional yang tersebar di Nusantara ini terancam hilang. Sekitar 40 persen sudah mulai punah, dari total 2.600.
“Bukan hilang sih, jarang dimainkan, ada yang hilang, ada yang jarang dimainkan. Lama-lama punah karena nggak ada bahannya, nggak ada teman bermainnya, nggak ada data permainan.
Itu awal terjadi hilangnya permainan tradisional. Ada baiknya para guru turut turun tangan mengenalkan dan memainkan lagi permainan tradisional kepada siswa pada waktu tertentu di sekolah. “ imbaunya.
Pada saat penutupan acara, Dr. Ikhsan, S.Psi., M.M., Kadispendik Kota Surabaya, menuturkan bahwa materi seminar sangat bagus dan merupakan wawasan baru. Dispendik melalui sekolah-sekolah siap mengembangkan konsep-konsep baru untuk menghidupkan kembali dan menumbuhkembangkan permainan tradisional dalam rangka membentuk jati diri siswa dan pembentukan karakter.
“Bagi guru dapat mengaplikasikan wawasan baru di sekolah masing-masing, khususnya proses pembelajaran di kelas,” pungkas mantan Kepala Bapemas dan KB Kota Surabaya. (Humas Dispendik Surabaya)