Dalam era globalisasi dan revolusi industri 4.0 dewasa ini, tantangan peningkatan mutu dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat ditawar lagi. Pesatnya perkembangan Iptek dan tekanan globalisasi yang menghapus tapal batas antarnegara, mempersyaratkan setiap bangsa untuk mengerahkan pikiran dan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki. Hal tersebut bertujuan supaya masyarakat dapat tetap bertahan dan mampu memenangkan persaingan dalam perebutan pemanfaatan kesempatan dalam berbagai sisi kehidupan. Ini berarti perlu adanya peningkatan sikap kompetitif secara sistematik dan berkelanjutan terhadap sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan.
Karenanya, pendidikan dewasa ini harus diarahkan pada peningkatan daya saing bangsa supaya mampu berkompetisi dalam persaingan global. Hal tersebut bisa tercapai jika pendidikan di sekolah diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan pemahaman konsep-konsep ilmiah, tetapi juga pada peningkatan kemampuan dan keterampilan berpikir siswa, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kristis.
Kurikulum paradigma baru atau Merdeka Belajar dihadirkan untuk menjawab tantangan yang ada, khususnya dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Merdeka Belajar yang memberikan kesempatan belajar kepada siswa untuk belajar dengan tenang dan gembira diharapkan akan membantu siswa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Seperti pada Profil Pelajar Pancasila yang merupakan bagian dari kurikulum paradigma baru terdiri dari enam domain. Salah satunya adalah bernalar kritis atau berpikir kritis. Munculnya berpikir kritis sebagai profil yang diharapkan akan terjadi dalam kehidupan para siswa adalah hal yang perlu difasilitasi dalam pembelajaran supaya benar-benar menghasilkan paras siswa yang mampu berpikir kristis.
Kemampuan berpikir kritis diartikan sebagai kemampuan secara objektif dalam memproses informasi baik secara kualitatif maupun kuantitatif, membangun keterkaitan antara berbagai informasi, menganalisis informasi, mengevaluasi dan menyimpulkannya. Dengan demikian, diharapkan pelajar akan mampu mengambil keputusan yang tepat.
Adapun karakteristik berpikir kritis siswa adalah mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi dan menginterpretasi informasi, serta mencari tahu penyebab dan konsekuensi dari informasi tersebut. Mengidentifikasi, mengklarifikasi, dan menganalisis informasi yang relevan serta memprioritaskan beberapa gagasan tertentu. Membuktikan penalaran dengan berbagai argumen dalam pengambilan suatu kesimpulan atau keputusan.
Kurikulum paradigma baru yaitu Merdeka Belajar datang dengan membawa harapan bahwa kemampuan bernalar berpikir siswa bisa ditingkatkan melalui aktivitas-aktivitas yang diberikan oleh guru. Konsep dan struktur kurikulum yang ada pada Merdeka Belajar memberi ruang dan kesempatan yaitu satu jam pelajaran untuk mengerjakan proyek dengan tema yang mengandung Profil Pancasila di mana salah satunya adalah berpikir atau bernalar kritis, sehingga tidak ada lagi alasan bagi para pendidik untuk tidak berusaha menerapakan dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Bloom (1956) mengidentifikasi enam tingkat tujuan pembelajaran yakni; pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Setiap tingkat dimungkinkan untuk menilai perilaku secara terukur. Berpikir kritis terjadi ketika siswa mampu untuk menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.
Ketiga hal di atas dapat diukur dengan melihat dan mengobservasi kemampuan siswa, di antaranya adalah:
- Analisis: memeriksa, mengklasifikasikan, mengkategorikan, meneliti, membedakan, membandingkan, memisahkan, menyelidiki, membagi lagi.
- Sintesis: menggabungkan, berhipotesis, membangun, memulai, membuat, merancang, merumuskan, bermain peran, mengembangkan
- Evaluasi: membandingkan, merekomendasikan, menilai, memberi tahu, memecahkan, mengkritik, menimbang, mempertimbangkan, berdebat.
Untuk mencapai indikator di atas, maka dalam proses pembelajaran khususnya pengerjaan proyek dengan bernalar kritis perlu dilakukan strategi-strategi sebagai berikut. Pertama, menyeimbangkan antara konten dan proses. Perlu adanya keseimbangan antara konten dan proses dalam penyajian suatu proyek. Dalam pelajaran sains, harus seimbang antara sains sebagai produk (penyajian fakta, konsep, prinsip, hukum, dsb) dan sains sebagai proses (keterampilan proses sains), seperti mengobservasi kejadian, merumuskan masalah, menghipotesis, mengukur, menyimpulkan, dan mengontrol variabel. Kedua, menyeimbangkan antara ceramah (lecture) dan diskusi (interaction). Teori belajar Piaget ditekankan pada pentingnya transmisi sosial dalam mengembangkan struktur mental yang baru. Ketiga, menciptakan diskusi kelas. Guru sebaiknya memulai presentasi dengan “pertanyaan”. Pengajuan pertanyaan dapat mengkreasi suasana antisipasi dan inkuiri.
Setelah melihat dan membaca beberapa hal di atas saya sampai pada pertanyaan berikut. Sudahkah kita siap untuk menerapkan kurikulum merdeka belajar? Sudahkah kita siap dalam mengubah metode dan gaya belajar di kelas untuk meningkatkan daya pikir kritis siswa?
Besar harapan kita semua terkait dengan apa yang sudah disiapkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam kurikulum baru akan mendatangkan kebaikan bagi siswa-siswi kita sehingga siap dalam menghadapi tantangan di abad 21 khususnya dalam menyikapi revolusi industri 4.0.*
Oleh:
Marisi Sihombing, S.Pd., M.M
Pendidik di SMP Cita Hati Christian School West
Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa)