Jumat siang (31/10), udara panas menyengat Kota Surabaya tak menyurutkan nyali para Kader Lingkungan Hidup SMPN 23, yang terdiri atas siswa dan guru, untuk berbagi bagaimana cara membuat “Biopori” kepada warga RT03/RW04 Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut. Kegiatan yang dimotori oleh Kun Maryati, Penggerak PLH SMPN 23, dalam rangka mendukung program Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang menargetkan per tahun jumlah sampah di Kota Surabaya akan berkurang 10%. Upaya tersebut harus dilakukan dengan cara memberikan kesadaran kepada masyarakat mengenai lingkungan dengan mengelola sampah.
Sebelum berkunjung di RT 03/RW 04, kegiatan serupa dilakukan para Kader Lingkungan SMPN 23 dengan membuat lubang Biopori di halaman samping Kantor Kelurahan Kedung Baruk. Di samping para kader lingkungan, Rully Prasetya Negara, S.STP, MSi, Lurah Kedung Baruk dan Dra. Elly Dwi Pudjiastuti, M.Pd, Kepala Sekolah SMPN 23, turut mendukung acara tersebut dengan turun langsung ikut membuat lubang biopori. Diawali dengan mengebor tanah, memasukkan sampah-sampah daun kering yang diperoleh di sekitar halaman Kantor Kelurahan, kemudian memasukkan pipa paralon dan mengisinya dengan sampah daun kering.
Usai pembuatan biopori, Rully menyampaikan rasa terima kasihnya atas partisipasi SMPN 23, hal ini berkaitan dengan masuknya RT 03/RW 04 Kelurahan Kedung Baruk dalam tahapan penjurian dengan kategori “Merdeka Dari Sampah 2014, Kampungku Lolos 50 Besar Go….” Dengan mendapatkan sumbangan bor dan pipa paralon dan bimbingan teknis cara membuat biopori dari SMPN 23 kepada warga RT 03/RW 04, nantinnya warga dapat mengembangkan sendiri dengan membuat sebanyak-banyaknya lupang biopori dengan memanfaatkan sampah yang ada, tambah Rully.
Lepas dari semua hal yang berkaitan dengan lomba atau kompetisi, yang berujung dengan kemenangan atau kekalahan, ada fenomena baru yang berkembang di Metropolis Surabaya. Tuntutan kualitas lingkungan hidup menjadi topik hangat yang diperdebatkan.
Secara kasat mata, masyarakat mulai sadar akan kebutuhan lingkungan lestari. Sedikit terlambat memang, kesadaran ini tumbuh ketika ancaman global perubahan iklim telah menunjukkan akibatnya.
Setidaknya slogan ”Suroboyoku Bersih dan Ijo” tidak hanya sebagai slogan yang terpampang di pintu masuk kota. Tetapi telah menjadi hal yang mulai dilaksanakan segenap warga dengan kesadaran hati yang tinggi. Untuk merdeka 100 persen dari sampah jelas tidak mungkin. Tetapi dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dengan mengolah sampah. Jumlah sampah bisa menurun 10 persen per tahun. (Humas Dispendik Surabaya)