Jika kepala sekolah dari daerah terpencil, tertinggal dan terluar (3T) begitu terkesan dengan sekolah di Surabaya karena sarana dan fasilitas yang serba ada. Kesan mendalam tentu juga dirasakan kepala sekolah dari Surabaya yang dkirim ke beberapa daerah di Indonesia Timur. Hanya saja, kesan yang dirasakan peserta dari Surabaya justru karena fasilitas yang serba tidak ada.
Pengalaman selama sepuluh hari mengelola sekolah di daerah 3T itu kiranya akan menjadi pelajaran penting bagi kepala sekolah dan seluruh guru di Surabaya. Pelajaran untuk selalu bersyukur dan berjuang sekuat tenaga mengembangkan pendidikan. Karena tidak mungkin bisa dibandingkan, sekolah di Surabaya dengan sekolah di daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun daerah 3T lainnya. Kemudahaan akses, ketersediaan fasilitas dan jaminan kesejahteraan yang jelas di daerah itu tak bisa dinikmati seperti di sini.
“ Untuk ke sekolah, saya harus menempuh jalan menyusuri lereng Gunung Rinjani. Kira-kira jarak tempuhnya 20 Km dan membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan,” cerita Kepala SDN Kedung Baruk I Surabaya Kartika mengikuti program On Job Learning (OJL) Kemendikbud di Lombok Timur, NTB pertengahan Desember lalu, tadi siang (05/01)
Diingatannya masih sangat jelas, bagaimana jalur menuju SDN Bilok Petung III tempat dia bertugas yang begitu menyulitkan. Apalagi kendaraan yang ditumpanginya hanya ada mobil pickup pengangkut sayur.
“Sebenarnya hari pertama saya naik sepeda motor. Tapi karena medannya begitu menakutkan, saya lalu diantar-jemput pickup yang dibelakangnya digunakan untuk mengangkut sayur,” tutur dia.
Satu tantangan saja tidak cukup. Tantangan berikutnya diceritakan Kartika adalah soal kultur masyarakat yang masih terbelakang. Kesadaran untuk menempuh pendidikan begitu rendah. Sehingga sangat dimaklumi, jika anak remaja yang usia sudah 12 tahun keatas masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Jangan heran kalau ada anak SD sudah saling suka dan ketika lulus langsung dinikahkan,” kata dia. Bahkan jika orang tua tidak mau menikahkan, lanjut dia, si anak laki sudah berani menculik anak perempuan. “Itu adat di sana. Setelah diculik, pihak keluarga perempuan akhirnya menikahkan si anak,” kata dia.
Kondisi seperti itu semakin memperihatinkan dengan fasilitas sekolah yang serba tidak ada. Jangankan komputer untuk administrasi atau media pembelajaran, sepatu saja tidak semua siswa punya.
“Jadi ada yang sekolah pakai sandal. Ada juga yang nyeker,” tutur dia. Tidak hanya itu, pola hidup yang asal-asalan membuat situasi kelas semakin tidak nyaman. Misalnya berangkat sekolah tanpa sarapan. Sehingga di sekolah, para siswa asyik mencari buah jambu mente dan mangga untuk mengisi perut mereka.
“Kalau ada siswa yang sekolah tidak mandi itu bisa dimaklumi. Karena di sana, air mandi yang digunakan berasal dari tadah hujan,” ungkap dia.
Di Surabaya, kondisi siswa semacam ini juga bisa ditemui. Namun, itu siswa di kelas pendidikan khusus dan layanan khusus (PKLK). Biasanya, kelas PKLK ini diisi oleh anak-anak-anak yang berlatar belakang penyandang masalah kesejahteraan sosial. “Sejak tahun 81 saya jadi guru. Rasanya baru kemarin itu saya merasakan perjuangan yang benar-benar untuk pendidikan,” tutur perempuan yang kini tinggal di Asrama Polisi Ketintang, Surabaya itu.
Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota (Dispendik) Surabaya Dra. Eko Prasetyoningsih, M. Pd berharap, pengalaman para kepala sekolah ini juga dibagikan kepada para guru di sekolahnya. Ini agar mereka semakin termotivasi dan bersyukur dengan semua yang sudah memudahkan mereka melaksanakan tugas sebagai guru atau kepala sekolah.
“Harusnya para guru maupun kepala sekolah bisa semakin semangat mendidik siswa. Di sini semua sudah tersedia dengan baik,” tutur dia. Di Surabaya sendiri, lanjut Eko, terdapat 61 kepala sekolah yang dikirim mengikuti program kemitraan Kemendikbud ini. Mereka sebelumnya telah dilatih oleh Kemendikbud. Kemudian, dari pelatihan mereka mengikuti OJL di daerah 3T. (Humas Dispendik Surabaya)