Terobosan baru diterapkan Pemerintah Kota (pemkot) Surabaya dalam upaya penanganan anak-anak putus sekolah. Pemkot menggandeng kalangan mahasiswa guna memecahkan masalah anak tersebut. Semua tergabung dalam program Campus Social Responsibility (CSR) yang resmi dilaunching pada Rabu (29/1) di Convention Hall Jl. Arief Rahman Hakim.
Dalam pelaksanaannya, CSR melibatkan para mahasiswa dari 19 perguruan tinggi di Surabaya, plus didukung oleh pusat kegiatan belajar mengajar (PKBM) Kak Seto.
Untuk tahap pertama ini, sebanyak 243 anak putus sekolah mendapat pendampingan dari para mahasiswa. Pendampingan yang dimaksud meliputi pendekatan psikologis dan pembelajaran. Supomo mengatakan, intensitas pertemuan antara kakak dan adik pendamping tersebut minimal seminggu sekali. Namun, tidak menutup kemungkinan ke depan kalau anak-anak sudah merasa nyaman dan senang, tata muka akan dilakukan lebih dari sekali dalam seminggu.
Sementara program CSR ini mendapat apresiasi dari pemerhati anak, Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto. Menurut dia, Pemkot Surabaya dinilai berhasil memberdayakan masyarakat, dalam hal ini mahasiswa, untuk sama-sama peduli terhadap permasalahan anak. “Semoga langkah ini bisa dicontoh kabupaten/kota di daerah lain,” ujarnya.
Dalam pandangan Kak Seto, langkah pendampingan ini sebenarnya juga dapat dimanfaatkan untuk menggali potensi anak. Sebab, dikatakan saudara Kresno Mulyadi ini, spektrum cerdas itu sangat luas. Cerdas tidak hanya dalam hal akademis, tapi juga non-akademis seperti melukis, olahraga, musik, dan sebagainya.
Di sisi lain, Kak Seto juga menyerukan jauhkan kekerasan dari pendidikan. Pasalnya, kekerasan di sekolah bisa membuat anak tidak kerasan dan nyaman belajar. Hal itu menurut Kak Seto juga menjadi salah satu faktor pendorong anak putus sekolah. Selain karena faktor ekonomi, faktor psikologis juga memegang peranan penting yang menentukan anak tersebut mau bersekolah atau tidak.
“Mari kita wujudkan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak-anak. Sebab, pendidikan itu sejatinya merupakan hak anak dan kita semua wajib menyediakan pendidikan yang layak bagi seluruh anak,” tutur psikolog yang mulai fokus pada permasalahan anak sejak 4 April 1970 ini.
Sementara, Kepala Dinas Pendidikan Kota (Dispendik) Surabaya Dr. Ikhsan, S.Psi, MM mengaku sangat terbantu dengan adanya program CSR. Sebab, program ini mempunyai tujuan dan target yang sejalan dengan visi pemkot, yakni ke depan sudah tidak dijumpai lagi anak yang tidak bersekolah.
Dikatakan Ikhsan, metode pendampingan semacam ini membawa efek ganda. Bagi anak-anak yang didampingi tentu mereka akan merasa percaya diri, tidak minder, sehingga motivasi diri mereka bisa bangkit dan potensi yang dimiliki bisa berkembang. Di sisi lain, para mahasiswa yang mendampingi juga mendapat pelajaran tentang makna hidup dan cara bersosialisasi. Hal itu, merupakan sesuatu yang mahal yang mungkin tidak didapat di bangku kuliah. Pengalaman selama pendampingan, kata Ikhsan, juga dapat dipakai untuk menyusun skripsi atau tugas akhir, maupun penelitian. “Obyeknya ngga usah jauh-jauh, di sini sudah ada kok,” imbuhnya.
Pemkot Surabaya memberi perhatian lebih terhadap dunia pendidikan. Selain intervensi melalui bantuan operasional daerah (BOPDA), dindik juga sudah bekerja sama dengan seluruh SKPD, termasuk puskesmas, kecamatan, hingga kelurahan. Tujuannya untuk aktif mencari anak-anak putus sekolah di Kota Pahlawan untuk kemudian dicarikan sekolah yang terdekat.
Selain acara launching CSR, pada kesempatan itu juga dilakukan penandatanganan MoU antara Neneng dengan pengarang novel Novianto Adjie. Neneng adalah pelukis berkebutuhan khusus yang hasil lukisannya digunakan sebagai cover novel berjudul Kitab Tertutup: Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan karangan Novianto Adjie.
Kak Seto berharap kesuksesan Neneng mampu memberi inspirasi bagi seluruh anak-anak yang hadir. Pesan yang disampaikan adalah tidak ada sesuatu yang tidak mungkin sejauh mau berusaha. (Humas Dispendik Surabaya)