Kepala SMPN 28 Surabaya Triworo Parnoningrum, S.Pd., M.Pd., resmi menyandang gelar doktor program studi (Prodi) Manajemen Pendidikan, Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (Unesa), setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka program doktor di Auditorium Pascasarjana Unesa, Rabu (25/07/2018). Predikat yang diraih adalah sangat memuaskan.
Triworo mempertahankan disertasinya yang berjudul “Pengelolaan Pendidikan Inklusif pada Sekolah Menengah Pertama di Surabaya: Studi Multi-situs di SMPN 29 Surabaya dan SMPN 5 Surabaya.” Dewan Penguji dan Penilai diketuai langsung Direktur Pascasarjana Unesa Prof. Ismet Basuki beranggotakan Prof. Ahmad Sonhadji, Dr. Mudjito, Prof. Yatim Riyanto, dan Prof. Murtadho.
Ujian terbuka program doktor Triworo menjadi istimewa karena Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya Dr. Ikhsan turut diundang menjadi Dewan Penguji dan Penilai. Dalam kesempatan itu, Ikhsan melontarkan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pendidikan inklusif di Kota Surabaya. Salah satunya berkaitan dengan pemetaan anak-anak inklusif di kelas 6 SD.
“Selama ini kami sudah memetakan anak-anak inklusif di kelas 6 SD. Setelah lulus mereka ditempatkan di SMP inklusif. Menurut promovendus, program tersebut membawa kebaikan atau kurang maksimal bagi anak-anak inklusif?” tanya Ikhsan.
Triworo kemudian menjawab bahwa program tersebut untuk saat ini sangat membantu sekali dan lebih bagus dibanding dengan daerah-daerah lain. Akan tetapi, diperlukan pemahaman kepada seluruh sekolah agar memiliki mindset pendidikan inklusif. “Sudah waktunya inklusif bukan sekadar labeling, tapi dilaksanakan semua sekolah,” tuturnya.
Di sisi lain, Prof. Ahmad Sonhadji berpendapat, dalam rangka menjamin hak setiap orang mendapat pendidikan, alangkah baiknya mereka disatukan dalam pendidikan inklusif. Bukan dipisah dengan yang lainnya. “Hasil penelitian ini bisa jadi saran untuk pemangku kepentingan di tingkat lokal, bahkan kepada Kementerina Pendidikan dan Kebudayaan,” jelasnya.
Prof. Yatim Riyanto mengatakan, pendidikan inklusif sejatinya bukan hanya bagi anak yang memiliki ketunaan khusus. Melainkan juga tempat pembelajaran bagi seluruh anak yang kurang beruntung. “Disertasi Triworo ini salah satu disertasi yang belum dikupas oleh dunia pendidikan,” ungkapnya.
Triworo mengaku, SMPN 29 dan SMPN 5 Surabaya dipilih menjadi bahan penyusunan disertasi karena pengelolaan pendidikan inklusifnya sudah berjalan lebih dari 5 tahun. Bahkan, SMPN 29 sudah menyelenggarakan pendidikan inklusif pada tahun 2008. Kedua sekolah tersebut sudah melaksanakan tiga ranah dalam dimensi indeks inklusif.
“Tiga ranah itu meliputi kebijakan inklusif, prkatik pelaksanaan inklusif, dan menciptakan budaya inklusif. Dimensi indeks inklusif merupakan ukuran keberhasilan pengelolaan pendidikan inklusif,” tandas perempuan yang mulai menempuh S3 pada 2014 ini. (Humas Dispendik Surabaya)