Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dalam beberapa tahun ke belakang belum ditempatkan sesuai dengan porsinya. Pendidikan nonformal ini masih dianggap sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Hal itu diungkapkan Kasubdit Pendidikan Kesetaraan dan Berkelanjutan Ditjen PAUD dan Dikmas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Dr. Samto saat acara pelatihan Pengelola PKBM Kota Surabaya tahun 2018 di Ruang Bung Tomo Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya, Rabu (18/07/2018). “UU itu, kan, dibuat tahun 2003 atau sudah 15 tahun lalu,” katanya.
Posisi saat ini, lanjut Samto, pendidikan kesetaraan telah menduduki posisi strategis seiring munculnya kebijakan pemerintah yang akan melayani semua anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah yang tidak sekolah cukup besar. Berdasar data yang disampaikan, anak usia 7-21 tahun atau pendidikan setara SD-SMA yang tidak bersekolah jumlahnya sekitar 5,1 juta se-Indonesia.
“Padahal, 20 tahun mendatang, anak-anak berusia 7-21 tahun itu adalah calon pemimpin bangsa ini dan memiliki peran besar. Kalau tidak disiapkan mulai sekarang, bangsa ini yang rugi,” jelasnya. Samto mencontohkan baru satu kelompok umur, belum kelompok umur yang berada di atasnya.
Penyiapan generasi usia 7-21 tahun itu, menurut Samto, salah satunya bisa melalui pendidikan kesetaraan atau PKBM. Berdasar data pokok pendidikan (dapodik), jumlah peserta didik di PKBM mencapai angka 594.443 per bulan Juli ini. Mereka tersebar di 11.222 lembaga PKBM dan 352 SKB. “Dari data itu, 50% peserta didik kesetaraan adalah anak usia sekolah,” jelasnya.
Melalui data itu, Samto meyakini bahwa pendidikan kesetaraan bukan lagi dianggap sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal, melainkan sebagai pilihan pendidikan masyarakat. “Karakteristik peserta didik di PKBM itu dulu adalah mereka yang putus sekolah atau yang di daerahnya belum ada sekolah,” katanya.
Samto mengungkapkan, PKBM dipilih masyarakat usia sekolah karena beberapa faktor. Di antaranya proses belajar mengajar yang fleksibel. “Di PKBM yang tetap itu adalah ujian, baik ujian semester atau ujian nasional. Sementara proses belajarnya lebih fleksibel dibandingkan sekolah,” ungkapnya.
Pernyataan Samto itu diamini Pengelola PKBM Homeschooling Pena Surabaya, Supriadi. Dia merasakan betul bahwa saat ini PKBM menjadi pilihan alternatif pendidikan. “Di Pena ada peserta didik usia sekolah. Mereka itu anak-anak guru besar dari beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di Surabaya. Ada juga anak dari pejabat Pemkot Surabaya,” jelasnya.
Supriadi mengungkapkan, proses pembelajaran yang fleksibel membuat mereka memilih PKBM Homeschooling Pena. Di antaranya menggunakan model pembelajaran dalam jaringan (daring) dan video call untuk proses pembelajaran tatap muka.
“Kami juga didukung tool google classroom untuk diskusi. Ujian juga bisa jarak jauh karena menggunakan aplikasi ujian online,” ujar peraih juara 2 dalam Apresiasi GTK PAUD Dikmas Berprestasi dan Berdedikasi Tingkat Nasional tahun 2018 ini.
Kabid Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Masyarakat, Kesenian dan Olahraga Pendidikan Dispendik Surabaya, Siti Asiyah Agustini menyatakan, pelatihan pengelola PKBM ini diikuti oleh 111 pengelola. Selain dari kementerian, Ketua Dewan Pendidikan Surabaya Martadi juga memberi paparan tentang pendidikan karakter. (Humas Dispendik Surabaya)