Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk pertama kalinya menjalankan program on the job learning (OJL) atau pertukaran kepala sekolah dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) ke kota-kota yang pendidikannya dinilai maju. Surabaya menjadi salah satu pilihannya. Sebanyak 61 kepala sekolah 3T bakal menimba ilmu di sekolah yang ada di Kota Pahlawan sejak 11-21 Desember.
Demikian sebaliknya, 61 kepala sekolah di Surabaya dikirim ke daerah 3T. Rinciannya, 54 kepala SD, 6 kepala SMP, dan satu kepala SMK. Dengan OJL ini, diharapkan terjadi tukar pengalaman antarkepala sekolah. Salah satu kepala sekolah daerah 3T yang menimba ilmu di Surabaya ialah Sobirin.
Kepala SDN 6 Prigi, Kecamatan Suwela, Kabupaten Lombok Timur itu mengungkapkan perbedaan terlihat mencolok di SDN Klampis 1 Surabaya dengan sekolahnya. Salah satunya pada tenaga pendidik. Di sekolahnya, karena keterbatasan teknologi dan bantuan pemerintah, sampai saat ini hanya ada 2 komputer yang digunakan oleh 1 operator untuk keperluan SDN 6 Prigi dengan SMP Satu Atap 4 Suwela.
“Di SD Klampis 1 itu luar biasa, mulai dari gedung, siswa hingga gurunya. Kalau di SD saya hanya ada 1 operator dan kepala sekolah yang bisa mengoperasikan komputer, itu juga tenaga honorer,” kata pria yang juga menjabat sebagai kepala SMP Satu atap 4 Suwela.
Sampai saat ini jumlah siswa SDN 6 Prigi mencapai 153 anak, sedangkan SMP satu atap 4 Suwela yang baru 3 tahun berdiri baru menerima 38 siswa baru. Sehingga, dia berharap bisa mengambil banyak pelajaran terkait manajemen sekolah yang bisa diterapkan di sekolah
daerah 3T.
“Pencapaian pembelajaran menjadi perhatian saya, karena daerah kami terpencil jadi ada perbedaan juga untuk teknis pembelajaran, pengelolaan administrasi kelas, pengaturan lapangannya dan lainnya,” ungkapnya.
Peserta lainnya, Kepala SMPN 5 Borong, Manggarai timur, Nusa Tenggara Timur, Henrikus Engkas menjelaskan ada tiga komponen pokok yang akan dipelajari seluruh kepala sekolah selama 10 hari di Surabaya. Di antaranya manajemen kurikulum, supervisi akademik dan pengembangan ekosistem sekolah. Henrikus sendiri ditempatkan di SMPN 19 Surabaya. “Yang saya dapat di SMPN 19 Surabaya akan kami terapkan di sekolah daerah 3T,” ujarnya.
Terkait manajemen kurikulum, dia ingin membandingkan SMPN 19 Surabaya dengan sekolah lain sehingga bisa dikatakan maju. Perbedaan mendasar terkait tenaga pendidik di Surabaya dan di daerah 3T. Di Surabaya, menurutnya, kepala sekolah sudah melanjutkan kualifikasi pendidikan hingga Strata 2 (S2). Namun, di daerah 3T masih banyak pengajar yang masih lulusan Diploma 3, belum sampai Sarjana.
Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya, Ikhsan menjelaskan, kepala sekolah yang ditempatkan untuk program ini di Surabaya berasal dari sembilan kabupaten dan kota. Dia berharap bisa berbagi banyak hal terkait sistem pendidikan yang ada di daerahnya dan sebaliknya.”Bisa memotivasi siswa di daerah untuk bisa sukses, karena sukses merupakan
hak setiap anak,” tuturnya.
Terbukanya jaringan kepala sekolah dengan program ini diharapkan juga bisa memperluas wawasan peserta didiknya, karena bisa melanjutkan pendidikan di luar daerahnya. Mengenai kurikulum yang berbeda antara wilayah 3T dengan Surabaya, menurutnya tidak menjadi permasalahan.
“Perbedaan kurikulum KTSP dan K13 bukan masalah besar karena metode dan strateginya hampir mirip. Dan kepala Seolah asal Surabaya juga bisa belajar kearifan lokal di 3T untuk dibawa ke Surabaya,” tandasnya. (Humas Dispendik Surabaya)