“Daar…daarrr” terdengar dua kali bunyi letusan yang diiringi datangnya berbondong-bondong warga Surabaya berpakaian putih-putih bersenjatakan bambu runcing dan membawa kentongan, sembari berteriak meminta para penjajah agar menurunkan bendera berwarna merah putih dan biru di hotel Oranje. Terjadi pertikaian sengit yang menewaskan satu orang dari pihak Belanda, dan dua orang dari pihak warga Surabaya.
Di atas adalah ilustrasi dari perobekan bendera merah, putih, biru milik Belanda yang direkonstruksi ulang pagi tadi (19/9). Bertempat di Jalan Tunjungan, halaman hotel Majapahit, berdiri ratusan partisipan yang terdiri dari jajaran Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) cabang Surabaya, Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kota Surabaya, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Surabaya, siswa-siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Kota Surabaya, serta para masyarakat Kota Surabaya. Mereka hadir mengenakan kostum pejuang kemerdekaan dan atribut tentara jaman dahulu. Pada kegiatan ini lebih dari 2.000 siswa dari berbgai jenjang dan sekolah turut terlibat dalam peringatan 70th Peristiwa Hotel Oranje. Dengan mengibarkan bendera merah putih ribuan siswa tersebut tetap antusias mengikuti jalannya detik-detik peringatan 70th Peristiwa Hotel Oranje.
Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, dengan semangat yang berapi-api membacakan pidato kebangsaan dihadapan ratusan partisipan. Tepat di Hotel Oranje 70 tahun yang lalu, tepatnya 19 September 1945. Terjadi insiden perobekan bendera merah putih biru, yang kemudian menjadi merah dan putih dan dikibarkan kembali dengan gagah perkasa di angkasa raya Indonesia.
“Dari Surabaya, kita telah menguatkan arti merah dan putih sesungguhnya. Keberanian yang suci untuk memerdekakan diri dari ketertinggalan, kemerdekaan yang suci untuk memerdekakan diri dari kebodohan, keberanian yang suci untuk merdeka dari kemiskinan. Surabaya merah putih telah terpatri di jiwa pemuda dan rakyat Surabaya. Keringatnya selalu berguna untuk menegakkan sang dwi warna,” ujar Wali Kota dengan semangat berapi-api.
Setelah pengibaran kembali bedera merah putih dengan diiringi Lagu Indonesia Raya oleh ratusan partisipan yang hadir. Untuk memperingati jasa dan arwah para pejuang, para partisipan diajak kembali mengheningkan cipta sembari menyanyikan lagu gugur bunga yang musiknya diiringi oleh para pelajar. Di akhir acara, seluruh partisipan serentak menghentakan kaki ke tanah dan tangan kanan mengeluarkan bendera kecil, dengan sorot mata menuju bendera merah putih, mereka bersama-sama menyanyikan lagu berkibarlah benderaku dengan penuh semangat. Selain itu, seorang veteran bernama S. K. Syafie maju ke panggung untuk membacakan Sajak Veteran.
Hartoyik selaku ketua LVRI cabang Surabaya mengungkapkan, sebelumnya peringatan perobekan bendera telah secara rutin diperingati oleh para veteran, namun masih dalam bentuk tasyakuran setiap 19 september tiap tahunnya. Hartoyik memberikan apresiasi tinggi kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, karena dengan adanya gelaran seperti ini, para generasi muda bisa mengenal sejarah tidak hanya melalui cerita, namun melalui reka ulang peristiwa.
“Kami (para veteran) telah melaksanakan peringatan perobekan bendera tiap tahunnya, namun dalam bentuk tasyakuran. Kami mengapresiasi pihak Pemkot yang mulai tahun ini hingga tahun berikutnya akan terus memperingati hari bersejarah bagi kami,” imbuh pria yang masih tegar meskipun usianya telah senja.
Heri Prasetyo, seniman yang lebih dikenal dengan nama Heri Lentho ini menjelaskan, menurut catatan harian Ploegman, isiden ini awalnya dimulai ketika Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno mengeluarkan maklumat pada tanggal 1 September 1945, yang berisi himbauan bahwa bendera merah dan putih harus dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, saat itu tentara Belanda yang sedang memperingati hari Ratu Wilhelmina, malah mengibarkan bendera merah putih dan biru.
“Ini peristiwa heroik yang pertama dilakukan oleh arek-arek Suroboyo. Sebab saat itu keadaan orang Surabaya miskin, kurang makan, dan tidak memiliki senjata karena baru saja dijajah oleh pihak Jepang. Namun, mereka berani melawan orang-orang Belanda yang dengan sombong berada di hotel mewah. Rasa patriotismenya tidak bisa dibendung,” imbuh pria yang aktif di kegiatan seni Kota Surabaya. (Humas Dispendik Surabaya)